BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam.
Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran
tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga
bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Jika
dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam
itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran.
Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan
bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu,
tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi
dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas
masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Berbicara perpecahan umat Islam tidaklah ada
habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai
dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang
berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar
yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam
telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin
yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah
dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah
dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah
kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga
melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak
benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang
sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan dan
logika.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi
seorang muslim untuk saling menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam
pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya
masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis
kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Di era modernisasi sekarang ini mulai
bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik
dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Modernisasi pemikiran,
westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk
menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam
rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini.
Oleh karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran
Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari
Islam, maka dalam makalah ini kami akan membahas berbagai
persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-aliran yang berada pada kaum
Mu’tazilah.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana sejarah munculnya kaum Mu’tazilah?
1.2.2
Apa Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah?
1.2.3
Apa sajakah pokok-pokok ajaran kaum Mu’tazilah?
1.2.4
Bagaimana konsep pemikiran kaum Mu’tazilah?
1.2.5
Apa saja kelompok kaum Mu’tazilah?
1.2.6
Apa saja gerakan yang dilakukan kaum
Mu’tazilah?
1.2.7
Bagaimana perkembangan kaum Mu’tazilah?
1.2.8
Bagaimanakah pemikiran tokoh-tokoh aliran
Mu’tazilah?
.
1.3 Tujuan
1.3.1
Mengetahui sejarah munculnya kaum Mu’tazilah.
1.3.2
Mengetahui sebab-sebab munculnya kaum
Mu’tazilah.
1.3.3
Mengetahui pokok-pokok ajaran kaum Mu’tazilah.
1.3.4
Mengetahui konsep pemikiran kaum Mu’tazilah.
1.3.5
Mengetahui kelompok-kelompok kaum Mu’tazilah.
1.3.6
Mengetahui gerakan yang dilakukan kaum
Mu’tazilah.
1.3.7
Mengetahui perkembangan kaum Mu’tazilah.
1.3.8
Mengetahui tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah serta
pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran
Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata
mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti
memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala
mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita
temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan
huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan
sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti
terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah
berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa
Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna
Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara
menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian
gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti
berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri
secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau
nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak
asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari
sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia
memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini
dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[1]
Kaum Mu`tazilah
merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih
dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan
ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh
dengan pedoman mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada
persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam
pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum
rasionalis islam”[2]
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para
kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq)
pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa
Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri,
sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti
kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari,
salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang
kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan
kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir,
tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa
besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya
(al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan
al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru.
Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita).
dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
2.2 Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah
Ada beberapa versi atau pendapat yang berbeda
dalam menerangkan sebab-sebab munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1.
Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya
Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang
yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun 131 H). Wasil bin Atha’
tidak sesuai dengan pendapat gurunya yang mengatakan bahwa “orang Islam yang
telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa
besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim durhaka”. lantas ia membentak,
lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian mengadakan majelis lain di suatu
pojok dari Masjid Basrah itu. Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai
kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan atau memisahkan diri dari gurunya.[3]
2.
Adapula orang mengatakan bahwa mereka dinamai
Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang
Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat
menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah
dari bani Umayyah.
3.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia
mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan
Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang
masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan
Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan
tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.[4]
4.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang
menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan
bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al
Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al
Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum
Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[5]
5.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang
asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa
antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena
berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain
al-manjilatain). Dalam artian mereka memberikan status orang yang berbuat dosa
besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.[6]
2.3 Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya
Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut
Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid,
Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina
Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah[7].
Berikut
penjelasannya masing-masing yaitu :
1.
Tauhid
Memiliki arti
“Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan
makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah
Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).[8]
Menurut mereka
tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti
menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama artinya menyamakan mahluq dengan
khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah
dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim
(maha mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Diantara
sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari ru`yatullah di akhirat dan
mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail
menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafs al sifat atau peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan diberikan sifat yang
mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada diri tuhan. Karena dzat
tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada dzat itu bersifat qadim pula.
Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Ini, menurut Wasil akan membawa
pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan
kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim maka mestilah itu tuhan. Oleh
karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid atau keesaaan tuhan, tuhan tidak
boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti diatas.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan
makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan
Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut
itu untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk
menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.[9]
Mereka juga menolak paham beatific
vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti (dengan
mata kepala). Satu-satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada
makhluknya adalah sifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan
sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah
menolak paham ini karena tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala
bersifat materi , yang immateri hanya
dapat diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat
tuhan memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala
melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang
bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat
tuhan yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh
golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha kuasa, oleh
mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat
tuhan dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa kuat
pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini
menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan kaum
rasional.
2.
Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir”
sebab seperti kata mereka bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak
mentaqdirkan nya, apabila Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa
manusia karena keburukan yang diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang
Allah adil dan tidak berbuat zalim.
Keadilan versi
mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah menzholimi
hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi Al `Adl mereka
menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan Allah tidak
menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena
jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan
mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim. Sebagai
konsekuensinya mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu
tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan mereka
membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.
Paham ini dalah
paham Qadriah yang dianjurkan Ma`bad dan Ghailan. Tuhan kata Wasil bersifat
bijksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan zhalim. Tidak mungkin tuhan
menghendaki manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintahnya.
Dengan demikian manusialah sendiri yang mewujudkan perbuatan baik dan jahat,
iman dan kafir serta patuh dan tidak patuhnya kepada tuhan. Atas
perbuatan-perbuatan ini manusia memperoleh balasannya. Dan untuk mewujudkan
perbutan itu tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya. Tidak mungkin tuhan
menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak
punya daya dan kekuatan untuk berbuat.
3. Al- Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya
ancaman),
Maksudnya adalah apabila Allah mengancam
sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya
dan menyelisih ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya-
menurut mereka Allah tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak
mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas
bertentangan dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.
4.
Al-Manzilah
Baina Manzilatain
Artinya
orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak masuk
kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua keadaan
(tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran
ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana disebutkan oleh kaum
Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di katakan kaum Murji`ah, tetapi
fasik yang menduduki posisi antara mu’min dan kafir. Kata mukmin, dalam
pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan
kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir juga tidak
dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa besar ia masih mengucapkan
shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang serupa ini jika mati belum
bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terima lebih ringan
dari siksaan yang diterima kafir.
5.
Amar Ma`ruf
Nahi Munkar
yaitu
bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk melakukan apa
yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa yang dilarang bagi
mereka.
Imam Ibnu Abil
‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka berkata: ” kita wajib
menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di perintahkan kepada
kita dan mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita kerjakan. Di antara
kandungnnya adalah boleh memberontak dengan senjata melawan penguasa yang
dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian
mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang
diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
1. Mengenai tentang mengetahui Tuhan.
2. Kewajiban mengetahui Tuhan.
3. Mengetahui baik dan jahat.
4. Kewajiban mengatahui baik dan
jahat.[10]
2.4 Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah
a. Ketauhidan
Mu’tazilah
menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang
azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
b. Dosa Besar
Orang
Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang
tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya
itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
c. Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang
menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang
menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka
diberi dosa dan pahala.
d. Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum
Mu’tazilah membentuk madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al
Qur’an dan Hadist.
2.5
Kelompok – kelompok Mu’tazilah
Mu’tazilah
berdasarkan versi mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :
1. Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan
faham mereka kepada orang lain. Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah bersikap
moderat tapi ada juga yang ekstrim. Golongan ini lahir pada masa keemasan
mu’tazilah, yaitu mereka menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan ini adalah yang menjunjung
tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal dengan nama Waidiyah (pengancam).
Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini mereka tidak segan-segan untuk
melakukan kekerasan.[11]
2.
Mu’tazilah Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah
moderat, hal inilah salah satu yang membedakannya dengan Syi’ah maupun
khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang menjadi salah satu kunci kelanggengan
aliran ini selama kurang lebih tiga abad lamanya.
2.6 Gerakan Kaum Mu’tazilah
Gerakan
kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu :
a.
Di Basrah (Iraq)
Dipimpin oleh
Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath
Thawil , Hafasah bin Salim dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H.
Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah
(wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah
lainnya.
b.
Di Bagdad (iraq)
Dipimpin dan
didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang
dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu
Musa Al- Musdar, Ahmad bin Abi Daud dll.[12]
2.7 Perkembangan
Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak
mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena
mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan
filosofis. Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang
pada sunah Rasulullah dan para sahabat.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang
luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah
al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin
kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini
disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar
akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai
golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok
lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah.
Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari
suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena
diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu
dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah
SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya
diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang
keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai
keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati
posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat
pemerintah yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah
mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam
Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah.
Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah
al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah
menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini
semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah
muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi
kesempatan ini tidak berlangsung lama.
Selama berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih
dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang
mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di
perguruan-perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah
ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti
universitas al-Azhar.
2.8 Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
1.
Wasil
bin Atha’
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang
meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang
dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah
(yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin
ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan.
2.
Abu
Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang
pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah.
Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini
menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum
Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
3.
Abu
Huzail al-Allaf
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui
banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran
Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai
pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan
Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan
seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya
yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu
yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa
kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal
kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk,
manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang
buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang
adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia
melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
Abu Huzail al-Allaf (751-849
M), penyusun 5 ajaran pokoq Mu’taziliyah.
4.
Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari,
pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah
SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah
SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban
manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang
diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban
yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah
syar’iah).
5.
An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah
mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk
berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf.
Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya,
maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan
Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa
pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat
mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada
kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia
juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu
yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah
sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
6.
Al- Jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu
Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang
oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu
sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
7.
Mu’ammar
bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah
pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum
alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan
hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu
yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika
sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh
lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan
Tuhan.
8.
Bisyr
al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting
menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak
dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf.
Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya
yang terdahulu.
9.
Abu Musa
al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai
pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah
mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang
mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah
SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
10. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati
berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada
wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan
surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan
neraka.
Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke
2 dan ke 3 H. Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang terang-terangan
menganut aliran ini dan mendukungnya adalah :
1.
Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang
berkuasa pada tahun 125-126 H)
2.
Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3. Al-
Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4. Al-
Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
Diantara
gembong-gembong ulama Mu`tazilah lainya adalah :
1. Utsman Al- Jahidz, pengarang kitab Al- Hewan
(wafat 255 H)
2. Syarif Radhi (406 H)
3. Abdul Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan
sebutan Qadhi`ul Qudhat.
4. Syaikh Zamakhsari pengarang tafsir Al-
Kasysyaf (528 )
5. Ibnu Abil Hadad pengarang kitab Syarah
Nahjul Balaghah (655).[13]
Mereka amat senang berdebat di muka umum. Menurut Sirajuddin Abbas
hamper 200 tahun dunia islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari
mereka ini, tujuan mereka adalah mengalahkan kaum Ahlussunnah. Masalah-masalah
yang diperdebatkan antara lain ialah :
1.
Sifat-sifat Tuhan ada atau tidak
2.
Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’
3.
Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak
4.
Qur’an itu makhluk atau tidak
5.
Perbuatan manusia di buat manusia atau tuhan
6.
Tuhan itu dapat dilihat di akherat atau tidak
7.
Qur’an itu dapat ditiru manusia atau tidak
8.
Alam ini qadim atau baru
9.
Syurga dan neraka itu kekal atau tidak
10. Arwah
itu pindah-pindah atau tidak
11. Tuhan
itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik
12.
Mi’raj itu dengan tubuh atau tidak
13. Dan
lain-lain[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah
munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran Mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.Inilah awal kemunculan
paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Mu`tazilah
mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat jahat,
dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh
golongan-golongan umat Islam lainnya.
Aliran kaum
Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan
dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia.
Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada
wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum
Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat
Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.
Kaum Mu`tazilah
tidak disukai karena mereka memakai kekerasan dan mnyiarkan ajaran-ajaran
mereka dipermulaan abad ke 9 Masehi. Kesalahpahaman terhadap kaum Mu`tazilah
timbul karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi di dalam
perguruan-perguruan Islam. aliran Mu`tazilah lebih dikenal sebagai aliran
rasionalisme.
Pemahaman
Mu`tazilah yaitu abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar
“Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum
ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du
Wal Wai`id, Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka
ia penganut paham Mu`tazilah.
3.2 Saran
Sejarah telah
mencatat, bahwa perselisihan serta perbedaan aqidah di kalangan kaum muslimin
yang pada akhirnya menimbulkan firqah-firqah, golongan-golongan atau
aliran-aliran adalah bermula dari persoalan-persoalan politik pasca wafatnya
nabi Muhammad SAW.
Perbedaan paham
tidak jarang menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Jangankan yang berbeda
agama dan keyakinan, bahkan dalam satu agama dan keyakinanpun, perbedaan
pastilah muncul dan mewarnai dinamika pemikiran keagamaan.
Oleh karena itu
kami menghimbau kepada para pembaca supaya tetap dalam satu kesatuan dengan
dasar islam yang selalu mencintai kedamaian sebagaimana yang dianjurkan oleh
nabi, baik masalah sosial, politik, maupun persoalan kepercayaan, dan
seyogainya apabila kita sedang menghadapi persoalan atau perbedaan pendapat, terutama
masalah agama atau paham-paham yang sudah banyak bermunculan di era modern ini,
supaya memahami dan mengkaji secara dalam terlebih dahulu terhadap persoalan
tersebut, dan jangan cepat mengambil keputusan terhadap persoalan tersebut
sebelum ada pemahaman yang telah dikaji oleh orang banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam.
Jakarta: UI-Press.
Nasir
Ahmad, Sahilun.2010. Pemikiran
Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali pers.
Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam.
Bandung: CV Pustaka Setia
Yudi
Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS
Avdich, Kamil Y. 1987. Meneropong
Doktrin Islam. Bandung : Al-Maarif
Sudarsono. 2004. Filsafat
Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi
Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Daudy,
Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi,
A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah
Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas
Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah. Bandung :CV Pustaka Setia
http://temp1o0whnjao4qhs.blogspot.com/2010/03/aliran-mutazilah.html
http://akhwatdiyah.blogspot.com/2012/06/makalah-pemikiran-teologi-mutazilah.html
[1] Sudarsono. Filsafat Islam.
2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
[2] Teologi Islam.
Harun Nasution hal 40
[3] Lihat
al-Milal,I/48
[4] Lihat al-Farq,
20 dan 21
[5] Dikutip dari
Ahmad Mahmud Subhi. Fi’ilm al-Kalam.Kairo,1969. Hal 76
[6] Ibid, hlm: 75.
[7] Harun
nasution, teologi islam: Jakarta. UI-press, 1986, hlm: 53.
[8] Ibid, hlm: 50.
[9]Kamil Y. Avdich. Meneropong
Doktrin Islam. 1987. Hal 163
[10] Supiana, Dan M. Karman,. Materi
Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-185
[11] Ahmad Sholihin
Siregar, “Pertumbuhan dan Perkembangan Mu’tazilah”, http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/pertumbuhan-dan-perkembangan-mutazilah.html, diakses bulan
April 2012.
[12]
Nasir
Ahmad, Sahilun.2010. Pemikiran
Kalam(teologi islam).hlm 165
[13] Fitriyani,
“makalah tentang aliran al-mu’tazilah”, http://fitriyani31.blogspot.com/2012/01/makalah.html, diakses
tanggal 26 Januari 2012.
[14] Syahminan Zaini. Kuliah
Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar