Minggu, 21 April 2013

Kaum Mu'tazilah (kaum Rasionalisme)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Berbicara perpecahan umat Islam tidaklah ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan dan logika.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk saling menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Di era modernisasi sekarang ini mulai bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Modernisasi pemikiran, westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam makalah ini kami akan membahas berbagai persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-aliran yang berada pada kaum Mu’tazilah.


1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana sejarah munculnya kaum Mu’tazilah?
1.2.2        Apa Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah?
1.2.3        Apa sajakah pokok-pokok ajaran kaum Mu’tazilah?
1.2.4        Bagaimana konsep pemikiran kaum Mu’tazilah?
1.2.5        Apa saja kelompok kaum Mu’tazilah?
1.2.6        Apa saja gerakan yang dilakukan kaum Mu’tazilah?
1.2.7        Bagaimana perkembangan kaum Mu’tazilah?
1.2.8        Bagaimanakah pemikiran tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah?
.

1.3  Tujuan
1.3.1        Mengetahui sejarah munculnya kaum Mu’tazilah.
1.3.2        Mengetahui sebab-sebab munculnya kaum Mu’tazilah.
1.3.3        Mengetahui pokok-pokok ajaran kaum Mu’tazilah.
1.3.4        Mengetahui konsep pemikiran kaum Mu’tazilah.
1.3.5        Mengetahui kelompok-kelompok kaum Mu’tazilah.
1.3.6        Mengetahui gerakan yang dilakukan kaum Mu’tazilah.
1.3.7        Mengetahui perkembangan kaum Mu’tazilah.
1.3.8        Mengetahui tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah serta pemikirannya.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[1]
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu  itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman  mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”[2]
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.

2.2  Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah
Ada beberapa versi atau pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1.      Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun 131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya yang mengatakan bahwa “orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu. Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan atau memisahkan diri dari gurunya.[3]
2.      Adapula orang mengatakan bahwa mereka dinamai Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.
3.      Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.[4]
4.      Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[5]
5.      Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka memberikan status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.[6]

2.3  Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah[7].
Berikut penjelasannya masing-masing yaitu :
1.        Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).[8]
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama artinya menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Diantara sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari ru`yatullah di akhirat dan mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafs al sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada diri tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada dzat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Ini, menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim maka mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid atau keesaaan tuhan, tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti diatas.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.[9]
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini karena tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi  , yang immateri hanya dapat diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat tuhan dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa kuat pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan kaum rasional.

2.      Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat zalim.
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi Al `Adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim. Sebagai konsekuensinya mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.
Paham ini dalah paham Qadriah yang dianjurkan Ma`bad dan Ghailan. Tuhan kata Wasil bersifat bijksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan zhalim. Tidak mungkin tuhan menghendaki manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintahnya. Dengan demikian manusialah sendiri yang mewujudkan perbuatan baik dan jahat, iman dan kafir serta patuh dan tidak patuhnya kepada tuhan. Atas perbuatan-perbuatan ini manusia memperoleh balasannya. Dan untuk mewujudkan perbutan itu tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya. Tidak mungkin tuhan menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak punya daya dan kekuatan untuk berbuat.

3.  Al- Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman),
Maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka Allah tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.

4.      Al-Manzilah Baina Manzilatain
 Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana disebutkan oleh kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di katakan kaum Murji`ah, tetapi fasik yang menduduki posisi antara mu’min dan kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir juga tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa besar ia masih mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang serupa ini jika mati belum bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terima lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir.

5.    Amar Ma`ruf Nahi Munkar
 yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa yang dilarang bagi mereka.
Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka berkata: ” kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di perintahkan kepada kita dan mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita kerjakan. Di antara kandungnnya adalah boleh memberontak dengan senjata melawan penguasa yang dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
1.      Mengenai tentang mengetahui Tuhan.
2.      Kewajiban mengetahui Tuhan.
3.      Mengetahui baik dan jahat.
4.      Kewajiban mengatahui baik dan jahat.[10]

2.4  Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah

a.  Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.

b.  Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
c.  Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
d.  Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum Mu’tazilah membentuk madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.

2.5  Kelompok – kelompok Mu’tazilah
Mu’tazilah berdasarkan versi mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :
1.  Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka kepada orang lain. Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim. Golongan ini lahir pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu mereka menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan ini adalah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal dengan nama Waidiyah (pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.[11]

2. Mu’tazilah Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah salah satu yang membedakannya dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang menjadi salah satu kunci kelanggengan aliran ini selama kurang lebih tiga abad lamanya.

2.6  Gerakan Kaum Mu’tazilah
Gerakan kaum Mu`tazilah pada mulanya memiliki dua cabang yaitu :
a.       Di Basrah (Iraq)
Dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil , Hafasah bin Salim dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.

b.      Di Bagdad (iraq)
Dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Musdar, Ahmad bin Abi Daud dll.[12]


2.7  Perkembangan  Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.
Selama berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.



2.8  Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
1.      Wasil bin Atha’
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.


2.      Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.

3.      Abu Huzail al-Allaf
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq Mu’taziliyah.

4.      Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).

5.      An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.

6.      Al- Jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.

7.      Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

8.      Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

9.      Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.

10.  Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
Inilah imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke 2 dan ke 3 H. Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang terang-terangan menganut aliran ini dan mendukungnya adalah :
1.    Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2.   Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3.   Al- Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4.   Al- Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
Diantara gembong-gembong ulama Mu`tazilah lainya adalah :
1.   Utsman Al- Jahidz, pengarang kitab Al- Hewan (wafat 255 H)
2.   Syarif Radhi (406 H)
3.   Abdul Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi`ul Qudhat.
4.   Syaikh Zamakhsari pengarang tafsir Al- Kasysyaf (528 )
5.   Ibnu Abil Hadad pengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah (655).[13]
Mereka amat senang berdebat di muka umum. Menurut Sirajuddin Abbas hamper 200 tahun dunia islam digoncangkan oleh perdebatan-perdebatan dari mereka ini, tujuan mereka adalah mengalahkan kaum Ahlussunnah. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara lain ialah :
1.      Sifat-sifat Tuhan ada atau tidak
2.      Buruk dan baik siapa yang menetapkan, akal atau syara’
3.      Pembuat dosa besar kekal dalam neraka atau tidak
4.      Qur’an itu makhluk atau tidak
5.      Perbuatan manusia di buat manusia atau tuhan
6.      Tuhan itu dapat dilihat di akherat atau tidak
7.      Qur’an itu dapat ditiru manusia atau tidak
8.      Alam ini qadim atau baru
9.      Syurga dan neraka itu kekal atau tidak
10.  Arwah itu pindah-pindah atau tidak
11.  Tuhan itu wajib mambuat yang baik dan yang lebih baik
12.  Mi’raj itu dengan tubuh atau tidak
13.  Dan lain-lain[14]









BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran Mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya.
Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.
Kaum Mu`tazilah tidak disukai karena mereka memakai kekerasan dan mnyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad ke 9 Masehi. Kesalahpahaman terhadap kaum Mu`tazilah timbul karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi di dalam perguruan-perguruan Islam. aliran Mu`tazilah lebih dikenal sebagai aliran rasionalisme.
Pemahaman Mu`tazilah yaitu abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah.


3.2  Saran

Sejarah telah mencatat, bahwa perselisihan serta perbedaan aqidah di kalangan kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan firqah-firqah, golongan-golongan atau aliran-aliran adalah bermula dari persoalan-persoalan politik pasca wafatnya nabi Muhammad SAW.
Perbedaan paham tidak jarang menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Jangankan yang berbeda agama dan keyakinan, bahkan dalam satu agama dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul dan mewarnai dinamika pemikiran keagamaan.
Oleh karena itu kami menghimbau kepada para pembaca supaya tetap dalam satu kesatuan dengan dasar islam yang selalu mencintai kedamaian sebagaimana yang dianjurkan oleh nabi, baik masalah sosial, politik, maupun persoalan kepercayaan, dan seyogainya apabila kita sedang menghadapi persoalan atau perbedaan pendapat, terutama masalah agama atau paham-paham yang sudah banyak bermunculan di era modern ini, supaya memahami dan mengkaji secara dalam terlebih dahulu terhadap persoalan tersebut, dan jangan cepat mengambil keputusan terhadap persoalan tersebut sebelum ada pemahaman yang telah dikaji oleh orang banyak.











DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press.
Nasir Ahmad,  Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali pers.
Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Yudi Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS
Avdich, Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam. Bandung : Al-Maarif
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas
Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung :CV Pustaka Setia
http://temp1o0whnjao4qhs.blogspot.com/2010/03/aliran-mutazilah.html
http://akhwatdiyah.blogspot.com/2012/06/makalah-pemikiran-teologi-mutazilah.html
                                                                                                         


[1] Sudarsono. Filsafat Islam. 2004. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hal 5-6
[2] Teologi Islam. Harun Nasution hal 40
[3] Lihat al-Milal,I/48
[4] Lihat al-Farq, 20 dan 21
[5] Dikutip dari Ahmad Mahmud Subhi. Fi’ilm al-Kalam.Kairo,1969. Hal 76
[6] Ibid, hlm: 75.
[7] Harun nasution, teologi islam: Jakarta. UI-press, 1986, hlm: 53.
[8] Ibid, hlm: 50.
[9]Kamil Y. Avdich. Meneropong Doktrin Islam. 1987. Hal 163
[10] Supiana, Dan  M. Karman,. Materi Pendidikan Agama Islam. 2004. Hal 181-185
[11] Ahmad Sholihin Siregar, “Pertumbuhan dan Perkembangan Mu’tazilah”, http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/pertumbuhan-dan-perkembangan-mutazilah.html, diakses bulan April 2012.
[12] Nasir Ahmad,  Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi islam).hlm 165
[13] Fitriyani, “makalah tentang aliran al-mu’tazilah”, http://fitriyani31.blogspot.com/2012/01/makalah.html, diakses tanggal 26 Januari 2012.
[14] Syahminan Zaini. Kuliah Aqidah Islam. 1983. Surabaya : Al-ikhlas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar