Minggu, 21 April 2013

Prinsip Utama Syariah



BAB I
PENDAHULUAN


Manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat, pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian adalah berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan oleh Allah sebagai “Sunnatullah”.

Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi dengan anugerah tersebut kadangkala manusia lupa akan dzat Allah SWT yang telah memberikannya. Untuk hal tersebut manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah SWT. Hidup yang dibimbing syariah akan melahirkan kesadaran untuk berprilaku yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya yang tergambar dalam hukum Allah yang Normatif dan Deskriptif (Quraniyah dan Kauniyah).

Sebagian dari syariat terdapat aturan tentang ibadah, baik ibadah khusus maupun ibadah umum. Sumber syariat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan hal-hal yang belum diatur secara pasti di dalam kedua sumber tersebut digunakan ra’yu (Ijtihad). Syariat dapat dilaksanakan apabila pada diri seseorang telah tertanam Aqidah atau keimanan.
Untuk supaya kita lebih paham terhadap syariat dan hal-hal penting yang ada didalamnya, maka, kami disini akan membahas lebih jauh mengenai syariat dan prinsip-prinsip utama dalam syariah, yang kemudian kami kembangkan dalam satu tema yang berjudul : Prinsip-Prinsip Utama Syariah.





1.2.1        Apakah pengertian Syariat?
1.2.2        Apa saja dasar-dasar syariat?
1.2.3        Apa hal-hal yang menjadi prinsip-prinsip syariat?
1.2.4        Bagaimana ayat-ayat dan hadist yang terkait dengan prinsip syariat?


Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.3.1        Mengetahui pengertian syariat.
1.3.2        Memberikan pengetahuan dan informasi tentang dasar-dasar syariat.
1.3.3        Mengetahui prinsip-prinsip utama dalam syariat.
1.3.4        Mengetahui ayat-ayat dan hadist yang terkait dengan prinsip syariat?


 

 





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Syari'ah
Syari'ah sering diidentikkan dengan fikih. Penyebutan ini tidak seluruhnya benar, sebab syari'ah dipahami sebagai wahyu Allah dan sabda Nabi Muhammad, yang berarti  din al-islam, sementara fikih adalah pemahaman ulama terhadap sumber ajaran agama Islam tersebut.
Demikian juga istilah “hukum Islam” sering diidentikkan dengan kata norma Islam dan ajaran Islam. Dengan demikian, padanan kata ini dalam bahasa Arab barangkali adalah kata “al-syari’ah”. Namun, ada juga yang mengartikan kata hukum Islam dengan norma yang berkaitan dengan tingkah laku, yang padanannya barangkali adalah “al-fiqh”.
Penjabaran lebih luas dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa kalau diidentikkan dengan kata “al-syari’ah”, hukum Islam secara umum dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit.
a.        Syari'ah Dalam Arti Luas
Dalam arti luas “al-syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma  ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal)  maupun tingkah laku konkrit (legal-formal) yang individual dan kolektif. Dalam arti ini,  al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan seterusnya. (Akidah, Akhlak dan Fikih).
b.      Syari'ah Dalam Arti Sempit
Sedang dalam arti sempit al-syari’ah berarti norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan pengertian ini, al-syari’ah dibatasi hanya meliputi ilmu fikih dan usul fikih.

2.2 Contoh Keadilan dalam Kehidupan Manusia
Tidak adil bagi sebuah perusahaan untuk memberikan kompensasi yang sama pada para karyawan yang bekerja dengan prestasi yang berbeda-beda. Tidak adil bagi seorang guru untuk memberikan nilai yang sama pada semua siswa. Tidak adil bagi seorang hakim memutuskan hukuman yang sama pada dua orang yang bersalah yang besar dan dampak kesalahannya jauh berbeda.
Tidak adil untuk memperlakukan yang berbuat baik dan berbuat buruk sama. Memeperlakukan yang berbuat baik sama dengan yang berbuat buruk adalah ketidakadilan (kezaliman).
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia, tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka bakal masuk neraka. Patutkah Kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah juga Kami memperlakukan orang –orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shad: 27-28)
Al-Qur’an juga mengatakan
Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik?
(QS as-Sajdah [32]:18)

2.3 Musyawarah
Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan kepada manusia untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk memberikan keluwesan dengan memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan pemerintahan dimulai dari pemilihan presiden kemudian membuat garis-garis besar haluan negara, dengan menyertakan rakyat dan seluruh umat atau yang mewakili mereka, yaitu yang dinamakan ahlul halli wal aqdi, dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh 2 hal, yaitu syari’at dan musyawarah, yakni dgn hukum Allah dan pendapat umat.

Ini merupakan fleksibelitas dalam mengaplikasikan musyawarah dalam masyarakat muslim, dan inilah bidang bagi para mujtahid, orang-orang yang punya ilmu dan pengalaman dalam membuat undang-undang Islam, yang menghalangi penyimpangan para penguasa dan keberanian para tiran dalam melanggar hak Allah dalam kedaulatannya, dan hak manusia dalam menghambakan diri padaNya.

Penjamin utama dalam merealisasikan ini semua adalah kesadaran rakyat terhadap wajibnya melaksanakan hukum Allah, dan hanya menghambakan diri padaNya, dengan menjauhkan diri dari pengagungan atau pengkultusan terhadap golongan atau individu dalam bentuk pemimpin atau raja atau pahlawan, karena ini semua bertentangan dengan akidah tauhid, dan merupakan bahaya yang sangat besar apabila masyarakat sampai kepada pengkultusan ini dimana seseorang merasa hina di hadapan pemimpin yang cerdas, atau penguasa satu-satunya, atau raja yang mulia, atau partai yang berkuasa, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk berhala yang menyerupai syi’ar ibadah, dan menjatuhkan manusia kepada kesyirikan baik mereka meyadari atau tidak, & ini semua tdk boleh terjadi dalam masyarakat muslim yang disinari oleh petunjuk al-Qur’an dan hadits.

Perbedaan Musyawarah dengan Demokrasi

Islam telah mewajibkan musyawarah sejak 5 belas abad yang lalu, dan mewajibkan kepada umat Islam utuk menerapkannya dalam kehidupan mereka secara pribadi, dalam masyarakat mereka, dan dalam negara mereka, dan musyawarah dalam Islam merupakan prinsip baru bagi kemanusiaan dalam sejarah mereka dahulu dan kini.

Hal ini karena apa yang dicapai oleh manusia sekarang setelah revolusi berdarah adalah demokrasi dalam system pemerintahan. Jika kita membandingkan antara demokrasi barat yg berlaku sekarang dengan musyawarah dalam Islam, maka kita akan mendapatkan banyak perbedaan antara keduanya, dalam metode, dan tujuan, walaupun keduanya bertemu dalam banyak sisi.

                                              








PEMBAHASAN

Kata syarî’ah itu asalnya dari kata kerja syara’a. kata ini menurut ar-Razi dalam bukunya Mukhtâr-us Shihah,bisa berarti nahaja (menempuh), awdhaha (menjelaskan) dan bayyan-al masâlik (menunjukkan jalan). Sedangkan ungkapan syara’a lahum – yasyra’u – syar’an artinya adalah Sanna (menetapkan).
Sedang menurut Al-Jurjani, syarî’ah bisa juga artinya mazhab dan tharîqah mustaqîmah /jalan yang lurus. Jadi arti kata syarî’ah secara bahasa banyak artinya.
Para ulama akhirnya menggunakan istilah syarîah dengan arti selain arti bahasanya, lalu mentradisi. Maka setiap disebut kata syarî’ah, langsung dipahami dengan artinya secara tradisi itu.
Imam al-Qurthubi menyebut bahwa syarî’ah artinya adalah agama yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan. Hukum dan ketentuan Allah itu disebut syariat karena memiliki kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup.
Ibn-ul Manzhur syariat itu artinya sama dengan agama. 
Syariah adalah ketentuan-ketentuan agama yang merupakan pegangan bagi manusia di dalam hidupnya untuk meningkatkan kwalitas hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Syariah Islam adalah tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai keridhoan Allah SWT yang dirumuskan dalam Al-Qur’an, yaitu :
 1. Surat Asy-Syura ayat 13
“ Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kamu wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Quran surat Asy-Syura ayat 13).



 2. Surat Asy-Syura ayat 21
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah ? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah tentukanlah mereka dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih. (Qur’an Surat Asy-Syura Ayat : 21).

 3. Surat Al-Jatsiyah ayat 18
 “Kemudian kami jadikan kamu berada di atas syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Qur’an Surat Al-Jatsiyah ayat : 18).

·           Syariat bersifat permanen, kekal dan abadi, fiqih atau hukum islam bersifat temporer, dan dapat berubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat dan fiqih sulit dibedakan.
 Syariat
·           Berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah
·           Bersifat fundamental
·           Hukumnta bersifat Qath'i (tidak berubah)
·           Hukum Syariatnya hanya Satu (Universal)
·           Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur'an


3.2    Dasar-dasar Syariat
Dasar-dasar yang digunakan dalam syariah islam adalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.

2.      Al-Hadist (As-Sunnah)
Sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.



3.3    Prinsip-prinsip Utama Syariat
1.    Keadialan (Al - Adalah)
a.    Pengertian keadilan
Keadilan Tuhan terehadap ciptaannya bermakna bahwa Tuhan pasti mengkaruniakan kepada setiap makhluk apa yang patut baginya dan berguna baginya. KeadilanNya tidak pernah terlepas dari KemahabijakanNya, yakni, Ia menciptakan sekalian makhluk dengan maksud dan tujuan yang pasti. Kebijaksanaan Ilahi memestikan kemajuan makhluk-makhluk hidup ke arah tujuan dan kesempurnaan eksistensialnya.

Keadilan Ilahi dalam kehidupan manusia
Seorang manusia yang berbuat kebaikan patut memperoleh kebaikan. Seorang manusia yang berbuat keburukan patut memperoleh keburukan.
Adalah suatu kemustahilan Tuhan memberikan keburukan sebagai hasil dari kebaikan yang dilakukan manusia.
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”
 (QS 55 (AR-RAHM?N): 60)

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. “
(QS 99 (AL-ZALZALAH):7-8)

Makna keadilan dalam kehidupan manusia adalah, bahwa selayaknya setiap manusia memperoleh apa yang patut baginya dan berguna baginya.
Contoh: Seorang anak kecil patut memperoleh kasih sayang dari orang-tuanya. Orang tua patut memperoleh cinta dan penghormatan dari anaknya.
Seorang istri patut memperoleh nafkah lahir batin dari suaminya. Seorang suami patut memperoleh kasih-sayang dan pendampingan lahir batin dari istrinya.
Seorang murid patut memperoleh pendidikan dari gurunya. Seorang Guru patut memperoleh rasa terima kasih dan penghormatan dari muridnya.

Makna lain keadilan adalah, mempertimbangkan hak orang lain. Oleh karena itu, adalah tidak adil untuk merampas hak orang lain. Juga adalah tidak adil untuk membedakan hak seseorang karena ras dan faktor lain.

Keadilan adalah meletakkan segala sesuatu sesuai dengan posisi dan kepatutannya
Sungguh Dia-lah yang telah memberi bentuk pada segala sesuatu, menempatkan segala pada posisi setepat-tepatnya hingga mereka semua melaluinya memperoleh limpahan KebaikanNya dalam mencapai kesempurnaan eksistensinya. Maha Suci Dia Yang Maha Adil! Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin dalam Nahjul Balaghah khotbah ke 437, bahwa keadilan adalah “meletakkan segala sesuatu sesuai dengan posisinya”.Sungguh Tuhan Yang Maha adil telah meletakkan segala sesuatu pada posisinya yang paling sempurna.
Keadilan bukanlah persamaan
Keadilan tidak selalu berarti persamaan. Seringkali keadilan berarti perbedaan.

2.    Persamaan (Al – Musawa)
Telah berabad-abad lamanya, sejarah menyaksikan bagaimana orang-orang kulit putih senantiasa berbuat zalim dan bertindak diskriminatif terhadap orang-orang kulit hitam; kamar mandi umum, restoran, tempat peristirahatan, rumah sakit, sekolahan, dan tempat pemakaman orang kulit hitam dipisahkan dari orang kulit putih.
Islam dengan tegas menolak dan menentang bentuk pilih kasih semacam ini dengan mengatakan,
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu". (Al-Hujurat: 13.)

Orang-orang yang termulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa. Perbedaan bentuk fisik, ras, dan bahasa justru menunjukkan kekuasaan Allah.
Di antara berbagai tanda kekuasaan-Nya, terdapat langit, bumi, serta beragam macam bahasa dan wama kulit.( Ar-Rum: 22. )

Pada perjalanan haji terakhirnya, Nabi mulia SAW mengumpulkan para jamaah haji dan bersabda, "Seluruh umat Islam dari berbagai kabilah, suku, ras, dan bahasa adalah sama."( Safinah al-Bihar, jilid II, hal. 248.)

Semasa hidupnya, Nabi mulia SAW seringkali memberikan kedudukan tertentu kepada para budaknya, menikahkan orang kulit hitam dengan kulit putih, bahkan anak bibi beliau diberikan kepada seorang budak hitam. Semua itu ditujukan demi menghapus berbagai bentuk diskriminasi (pembeda-bedaan)

Islam Mengajarkan Keadilan, Bukan Persamaan dalam Segala Hal

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ
 عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisa`: 34)

3.    Musyawarah (Al – Musyawarah)
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata syawara, yaitu berunding, berembuk, atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Makna dasar dari kata musyawarah adalah mengeluarkan dan menampakan (al-istihkhraju wa al-izhar). Secara terminologis, musyawarah diartikan sebagai upaya memunculkan sebuah pendapat dari seorang ahli untuk mencapai titik terdekat pada kebenaran demi kemaslahatan umum.

Kata musyawarah diambil dari akar kata syin (sy) waw (w), dan ra (r). Ketiga huruf tersebut membentuk kata syawara, yang awalnya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat).

Pada dasarnya, musyawarah digunakan untuk hal-hal yang bersifat umum atau pribadi. Oleh karena itu, bermusyawarah sangat dibutuhkan, terutama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, baik oleh masyarakat secara individu maupun secara umum.

Islam telah menganjurkan musyawarah dan  memerintahkannya dalam banyak ayat dalam al-Qur’an, ia menjadikannya sesuatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara, serta menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam  sifat-sifat dasar orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali dengannya, ini disebutkan dalam surat khusus,
yaitu surat as syuura, Allah berfirman:
“Dan (bagi) orang-orang yg menerima (mematuhi) seruan Tuhannya & mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; & mereka menafkahkan sebagian dari rezki yg kami berikan kpd mereka.” (Al Qur’an Surat: as Syuura: 38)

Oleh karena kedudukan  musyawarah sangat agung maka Allah Subhanahu wa ta’ala menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Al Qur’an Surat: Ali Imran: 159)

Perintah Allah kepada rasulnya untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya setelah tejadinya perang Uhud dimana waktu itu Nabi telah bermusyawarah dengan mereka, beliau mengalah pada pendapat mereka, dan ternyata hasilnya tidak menggembirakan, dimana umat Islam menderita kehilangan tujuh puluh sahabat terbaik, di antaranya adalah Hamzah, Mush’ab dan Sa’ad bin ar Rabi’. Namun demikian Allah menyuruh rasulnya untuk tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya, karena dalam musyawarah ada semua kebaikan, walaupun terkadang hasilnya tidak menggembirakan.

Adapun prinsip musyawarah yang diwajibkan dalam Islam adalah mewajibkan mengambil pendapat semua tanpa membedakan antara mayoritas dan minoritas, kemudian mengambil pendapat yang terkuat dari segi argumentasi setelah dibandingkan antara kedua pendapat, bukan mengambil suara terbanyak.
Dalam bermusyawarah kita tahu sulitnya membuat kaidah memilih pendapat yang kuat, namun ini tidak mustahil jika ditimbang dengan akal sehat, maslahat dan pengalaman, sebagaimana ulama fiqh membuat kaidah ilmiyah utuk memilih pendapat yang kuat. Dengan memilih pendapat yang kuat sesuai dengan kaidah ini maka tidak ada keberpihakan pada salah satu kelompok atas yang lain, akan tetapi mengambil pendapat terkuat secara akal, maslahat dan pengalaman setelah semua pendapat diletakkan pada posisi yang sama tanpa mengabaikan salah satu pendapat.

Prinsip musyawarah ini merupakan prinsip baru dalam system pemerintahan dimana ia menghilangkan semua bentuk penindasan dari pihak mayoritas atas pihak minoritas sebagaimana yg dianut oleh system demokrasi mutlak. Demikian pula ia menghilangkan segala bentuk penindasan pihak minoritas atas pihak mayoritas sebagaimana dalam system sosialis demokratis.

Sebagaimana prinsip musyawarah ini mengangkat semua pendapat orang baik dari pihak minoritas maupun mayoritas kepada derajat yang sama, tanpa memberikan kesan dikesampingkan atau tidak diperdulikan kepada siapapun, sebagaimana yang berlaku pada masa nabi dalam musyawarah yang wajib, kemudian mengambil pendapat terbaik setelah ditimbang-timbang.

Akan tetapi seperti halnya masalah lain, prinsip musyawarah ini memerlukan persiapan pendidikan secara khusus agar musyawarah ini bisa diterima dengan baik, dan persiapan pendidikan utuk menerima prinsip musyawarah ini lebih mudah daripada persiapan pendidikan yang dipaksakan utuk menerima prinsip penindasan kelompok mayoritas atas minoritas, atau prinsip penindasan minoritas atas mayoritas, terutama yang kedua ini biasanya dan sampai sekarang tidak diterapkan kecuali dengan kekuatan dan kekerasan.

Demikian pula prinsip musyawarah ini memerlukan perangkat teknis ilmiah yang sesuai dengan tema musyawarah, dengan membentuk panitia khusus di parlemen misalnya atau lainnya yg diberi tugas utk mempelajari usulan-usulan yg masuk utk memilih pendapat yg terbaik, kemudian mengambil keputusan sesuai dengan kaidah-kaidah aturan yang diterima oleh semua pihak dengan penuh kebebasan.
4.    Ayat-Ayat Dan Hadist Yang Terkait Dengan Prinsip Syariat
a.    Ayat – ayat dan Hadist tentang Keadilan
Berlaku adil adalah salah satu prinsip Islam yang dijelaskan dalam berbagai nash ayat maupun hadits. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam, sehingga wajar kalau tuntunan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisâ` : 58)

Dan Al-Qur`an Al-Karîm adalah lambang keadilan,
“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (Al-Qur`an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’âm : 115)

Dan Allah Ahkamul Hâkimîn memerintah untuk berlaku adil secara mutlak,
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu).” (QS. Al-An’âm : 152)

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (QS. An-Nisâ` : 135)

Dan Rabbul ‘Izzah tetap memerintahkan untuk berlaku adil walaupun terhadap musuh sendiri,
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mâ`idah : 8)

Dan Allah memuji orang-orang yang berlaku adil,
“Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.” (QS. Al-A’râf : 181)

Dan Nabi-Nya telah diperintah untuk menyatakan,
“Dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kalian.”
(QS. Asy-Syûrô:15)

Hadist keadilan
عن عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله تعالى عنهما قال: قال رسول الله صل الله عليه و سلّم : (( انّ المقسطين عند الله على منابر من نور, عن يمين الرحمن عزّوجلّ وكلتا يديه يمين, الذين يعدلون في حكمهم واهليهم وما ولوا )). (اخرجه مسلم).

Dari Abdullah ibni amr ibnil ash رضي الله عنهما , telah bersabda Rosulullah صلى الله عليه و سلم : “Sesungguhnya orang yang adil berada dekat dengan ALLAH عزّوجلّ diatas mimbar dari cahaya, disebelah kanan ALLAH عزّوجلّ, dan tangan keduaNYA adalah kanan, yaitu mereka yang adil didalam hukum mereka dan kepada keluarga mereka dan segala yang diamanahkan kepada mereka.” (HR. Muslim)


b.   Ayat – ayat  dan Hadist tentang Persamaan dalam Islam
Telah berabad-abad lamanya, sejarah menyaksikan bagaimana orang-orang kulit putih senantiasa berbuat zalim dan bertindak diskriminatif terhadap orang-orang kulit hitam; kamar mandi umum, restoran, tempat peristirahatan, rumah sakit, sekolahan, dan tempat pemakaman orang kulit hitam dipisahkan dari orang kulit putih.
Islam dengan tegas menolak dan menentang bentuk pilih kasih semacam ini dengan mengatakan, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu". (Al-Hujurat: 13.)

 Orang-orang yang termulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa. Perbedaan bentuk fisik, ras, dan bahasa justru menunjukkan kekuasaan Allah. Di antara berbagai tanda kekuasaan-Nya, terdapat langit, bumi, serta beragam macam bahasa dan wama kulit.( Ar-Rum: 22. )

 Pada perjalanan haji terakhirnya, Nabi mulia SAW mengumpulkan para jamaah  haji dan bersabda, "Seluruh umat Islam dari berbagai kabilah, suku, ras, dan bahasa adalah sama."( Safinah al-Bihar, jilid II, hal. 248.)

 Semasa hidupnya, Nabi mulia SAW seringkali memberikan kedudukan tertentu kepada para budaknya, menikahkan orang kulit hitam dengan kulit putih, bahkan anak bibi beliau diberikan kepada seorang budak hilam. Semua itu ditujukan demi menghapus berbagai bentuk diskriminasi (pembeda-bedaan)

c.    Ayat – ayat  dan Hadist tentang  Musyawarah dalam Islam
Surat As syuura, Allah berfirman:
“Dan (bagi) orang-orang yg menerima (mematuhi) seruan Tuhannya & mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; & mereka menafkahkan sebagian dari rezki yg kami berikan kpd mereka.” (Al Qur’an Surat: as Syuura: 38)
Oleh karena kedudukan  musyawarah sangat agung maka Allah Subhanahu wa ta’ala menyuruh rasulnya melakukannya, Allah berfirman: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Al Qur’an Surat: Ali Imran: 159).
BAB  IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Syariat islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan nabi sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan.
Syariah Islam  memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan umumnya pada seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Muamalah dalam syariah Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan demikian Syariah Islam dapat terus menerus memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam  menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat dalam semua aspek kehidupan.
 Syariah Islam dalam  muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi semua pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan kesewenangan dari pihak yang  kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah Islam akan lahir masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.
Bagi kaum Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Ibadah shalat, zakat, haji, pernikahan, perdagangan, dan sebagainya,  adalah sebagian aspek kehidupan yang terikat erat dengan syariat. Namun, harus diakui, ada saja sementara orang Muslim sendiri yang syariat-fobia.

Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan  konsep keadilan, persamaan, musyawarah dan  pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab.

4.2 Saran
Sebagai umat muslim mari kita benar-benar menerapkan syariat – syariat dalam islam, agar semua apa yang telah kita amalkan dan kita lakukan, mendapat ridho dari Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA


Zaenal Fanani, S.H.I., M.Si. (Hakim Pengadilan Agama Martapura) - Badilag.net

Fiqh Islam, H. Sulaiman rasjid, 1976, Attahiriyah, Bandung.

http://islamwiki.blogspot.com/2012/08/pengertian-syariah-dalam-arti-luas-dan.html

http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283%3Asyariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11%3Anirwan-syafrin&Itemid=17

Rosyanti, Imas., (2002) Esensi Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, (hlm 235)

Shihab, M.Quraish., (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, (cet.12.)

Rosyanti, Imas., (Op.cit 236)

http://www.allaahumma.com/547/prinsip-dan-kewajiban-bermusyawarah-dalam-islam.htm

http://agil-asshofie.blogspot.com/2011/04/persamaan-dalam-islam.html

http://abuirhas.blogspot.com/2012/01/hadits-tentang-keadilan.html

Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=614








Tidak ada komentar:

Posting Komentar